Senin, 05 Oktober 2009

Terpaksa Menulis

DWIKI SETIYAWAN*



ENAM puluh ribu rupiah untuk kontraprestasi empat buah tulisan. Itu yang
saya dapat dari menulis reportase kegiatan sebanyak empat hingga enam alinea
panjangnya, pada rubrik “Warta Jamaah” di tabloid *Jum’at *yang terbit
seminggu sekali. Saya mengambilnya sendiri di kantor redaksi tabloid itu
antara tahun 1992-1995 di lantai dasar Masjid Istiqlal Jakarta. Alasan
mengambil sendiri, disamping jumlah honor agak lumayan, saya bisa
melaksanakan shalat Dzuhur di depan mimbar khatib dan merasakan kedamaian di
masjid termegah se-Asia Tenggara itu. Untuk tahun-tahun indah tersebut, satu
buah tulisan sebesar Rp 15 ribu berarti cukup untuk membeli tiket kereta api
ekonomi pulang ke Solo dari Jakarta.

Di tabloid Jum’at, rubrik “Warta Jamaah” berisi kegiatan-kegiatan keagamaan
yang dilakukan oleh ormas, kelompok pengajian, sekolah dan institusi
lainnya. Tulisan reportasenya singkat, yang penting memenuhi unsur berita 5
W+1H. Ditulis panjang pun boleh, hanya honornya tetap sama Rp 15 ribu.
Makanya saya hanya mengirim reportase pendek saja.

Sebelum mengambil sendiri honor, saya kontak via telepon ke redaksi agar
honor-honor tulisan ditahan dulu, yang nanti akan saya ambil saat ada acara
di Jakarta. Biasanya, sekalipun hanya satu tulisan reportase yang dimuat,
selang beberapa hari tiba kiriman wesel dengan angka nominal Rp 15 ribu.
Pada bagian kolom berita di wesel ditulis: honor tulisan … (judul
reportase)… (edisi terbit tabloid)… (ucapan terima kasih). Kala itu, uang
sebesar Rp 15 ribu sudah bisa untuk mentraktir pacar nonton di bioskop
ternama Solo Teater yang terletak di Kompleks Taman Sriwedari Solo.

Selain tabloid *Jumat*, beberapa kali artikel pendek saya dimuat di rubrik
opini mahasiswa harian *Jawa Pos*. Honornya Rp 25 ribu dan dikirim via
wesel. Honor sebesar itu, sudah cukup untuk membayar satu bulan indekost
dengan kamar yang lumayan luas dan bagus di kota Solo. Sedangkan untuk
mentraktir makan, uang sebesar itu cukup untuk lima orang makan enak “sego
liwet” di bilangan Keprabon.

Tahun-tahun 1990-an, rubrik opini mahasiswa di *Jawa Pos *memiliki segmen
tersendiri di kalangan mahasiswa Jatim, Jateng dan DIY. Modus kerjanya,
redaksi terlebih dahulu melempar sebuah tema tertentu untuk ditanggapi
mahasiswa. Mula-mula ada empat orang mahasiswa berikut opininya yang dimuat.
Selang beberapa waktu hanya dua orang mahasiswa yang dimuat opininya. Rubrik
khusus ini, tampil di halaman opini bersama artikel utama yang ditulis para
pakar dan editorial koran bersangkutan “Jati Diri”.

Di samping itu, tulisan saya juga pernah muncul di harian *Pikiran
Rakyat *Bandung,
Majalah *Media Dakwah *(diterbitkan Dewan Dakwah Indonesia), Majalah*Rindang
* (diterbitkan Kanwil Depag Jawa Tengah) dan sebagainya. Kesemua tulisan itu
diketik dengan mesin ketik manual. Kadang kalau pitanya sudah lama dipakai,
hasil tulisan paling atas jelas dan ke bawahnya semakin tak jelas. Yang
penting si redaksi masih bisa membaca maksud tulisan!

***

Tahun 1996, saya hijrah ke Jakarta. Menjadi Ketua Bidang Diklat Badan
Koordinasi Nasional Lembaga Pers Mahasiswa PB HMI (Bakornas LAPMI). Rekan
sesama staf ketua, yaitu M Alfan Alfian yang menjabat sebagai Ketua Bidang
Penerbitannya. Berkantor di Jalan Diponegoro 16-A Menteng Jakarta Pusat yang
sekaligus jadi kediaman para aktivis PB HMI. Salah seorang staf lain di
Bakornas LAPMI periode itu yang kemudian sangat terkenal yakni Moammar Emka.
Penulis buku laris “Jakarta Undercover” .

Sebagai aktivis yang masih baru di Jakarta, saya dan M Alfan Alfian kala itu
merasakan betul bagaimana rasanya “tidak punya uang sama sekali” di kantong.
Untuk mensiasati agar dapat uang dan tetap survive, terpaksalah kami memutar
otak mengatasinya. Menulis adalah salah satu jalan keluarnya. Dan motif agar
dapat uang inilah yang paling mendasar, memaksa dan dipaksa untuk menulis.

Dengan menggunakan dua buah komputer “jangkrik” yang berada di lantai dua
Jalan Diponegoro 16-A, setelah lewat tengah malam saat aktivis yang lain
tertidur pulas, beberapa aktivis bergantian menulis artikel opini untuk
dikirim ke media massa. Komputer “jangkrik” ini masih menggunakan dua buah
disket cukup besar: satu buah sistem operasi DOS dan satunya lagi untuk
menyimpan dokumen. Program yang digunakan yakni WS (WordStar) yang kala itu
sangat populer. Sekalipun dulu terampil menggunakan WS, dengan menekan
tombol ini dan itu untuk membuat perataan tulisan, menebalkan kata, memberi
garis bawah kalimat dan sebagainya, sekarang semuanya sudah lupa.

Artikel-artikel M Alfan Alfian dimuat di harian *Kompas,* *Media Indonesia *dan
*Pelita*. Sedangkan artikel saya pernah dimuat di harian *Merdeka* (BM
Diah), *Media Indonesia*, *Bisnis Indonesia*,* Pelita *dan harian sore *
Terbit*. Masih ada beberapa nama lain di PB HMI saat itu yang gemar menulis
dan tulisannya dimuat media massa, antara lain: Mokhsen Idris Sirfefa,
Badaruddin Gailia, Syamsul Qomar dan Anas Urbaningrum.

Berkali-kali mengirim artikel opini ke *Kompas*, tulisan saya acap
dikembalikan dengan diserta catatan: tidak ada tempat. Alfan Alfian lebih
beruntung, sekalipun awalnya artikel opini dia juga acap dikembalikan.
Namun karena konsisten, akhirnya sekali dimuat selanjutnya lancar-lancar
saja. Kalaupun saya dapat “honor” dari *Kompas*, bukan karena artikel yang
dimuat namun karena pernah menjadi pemenang Teka-Teki Silang (TTS) edisi
Rabu –dulu TTS *Kompas* hadir setiap Rabu dan Minggu– dan “pengganti
transport” saat aktif menghadiri diskusi rutin di Forum Indonesia Muda (FM)
di gedung Kompas Palmerah.

Sebagai konsekwensi, dan sayang kerja semalaman ditolak redaktur opini
sebuah harian maka artikel yang sama segera saya kirim via pos ke harian
lain, dalam hal ini *Merdeka*. Sejak dulu saya membiasakan untuk tidak
menulis artikel yang sama ke lebih dari satu penerbitan. Jadi menunggu
konfirmasi “penolakan” dulu, baru berani mengirim artikel bersangkutan ke
media lain. Karena lazimnya di suatu media alasan penolakan lantaran “tidak
ada tempat”, maka biasanya di media lain akan dimuat.

Berkaitan dengan lamanya menunggu konfirmasi dari tulisan yang kita kirim ke
sebuah media cetak, perlu saya ingatkan kepada penulis-penulis muda:
reputasi kepenulisan seseorang akan ditentukan dan dihargai oleh integritas
si penulis sendiri. Jangan sekali-sekali mengirim sebuah artikel yang sama
ke beberapa media. Termasuk memodifikasi judul atau pengurangan dan
penambahan isi artikel. Juga memplagiat tulisan orang.

Sekali terdeteksi sebuah artikel itu dimuat lebih dari satu media (sekalipun
dengan jangka waktu berbeda) atau judul dan isi artikel sudah dimodifikasi
atau artikel itu hasil plagiat yang telah dimodifikasi, maka lonceng
kematian sebagai pengarang akan segera berdentang. Dan nama si penulis akan
masuk “daftar hitam” sebagai penulis nakal untuk selamanya.

Di harian *Merdeka*, artikel-artikel saya yang dimuat tentang politik dan
budaya. Sebuah artikel, akan mendapat honor Rp 100 ribu untuk penulis pemula
seperti saya. Ngambil honorya di daerah Cikupa Tangerang. Cukup jauh, dan
harus berganti-ganti kendaraan umum untuk mencapai kantor redaksi itu. Dan
harus menunggu sebulan semenjak artikel dimuat.

Selain harian *Merdeka*, harian sore *Terbit *juga memberi honor sebesar itu
untuk setiap artikel yang dimuat. Saya juga mengambil sendiri honornya di
kantor redaksi *Terbit* di daerah Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur.
Sedangkan honor sebuah artikel di *Media Indonesia *dan *Bisnis
Indonesia*pada tahun 1996-1997-an telah mencapai Rp 200 hingga Rp 250
ribu.

Dari pengalaman menulis yang saya kemukakan di atas, menulis di media cetak
dengan mengharap imbalan honor atau atas nama eksistensi diri musti
“dipaksakan”. Kisah saya dengan M Alfan Alfian menjelang reformasi yang
terjepit karena tidak punya uang untuk *survive* di Jakarta telah
membuktikan, kalau dipaksakan –sekalipun awalnya ditolak-tolak redaktur
media cetak– pada saatnya tulisan kita akan dimuat oleh media cetak. Dari
pengembalian tulisan disertai alasan dari si redaktur, lama-lama kita akan
tahu karakter media itu dan sejauhmana mutu tulisan yang kita buat. Selamat
mencoba.
*****

Tidak ada komentar: