Senin, 05 Oktober 2009

MIYABI

http://beritajatim.com/sorotan.php?newsid=530

30 September 2009 13:57:43 WIB
Miyabi
Reporter : Oryza A. Wirawan

Saya tidak tahu kapan Maria Ozawa akan ke Indonesia. Tapi hari ini saya
membayangkan dia seperti Pariyem dalam novel Linus Suryadi Ag. Pariyem
adalah babu berbodi montok dengan susu yang padat, yang dihamili anak
juragannya, Raden Bagus Ario Atmojo. Dia cinta sang anak juragan, tapi
orang ramai mempertanyakan atau menakar moralitasnya, karena bersetubuh
dan hamil di luar nikah.

"Nama saya Maria Ozawa. Orang juga
sering memanggil saya Miyabi. Saya mau datang ke Indonesia, karena
diajak main film yang judulnya menggunakan nama saya."

"Coba
saja lo berani ke Indonesia. Kalau gue presiden, udah gue undang lo ke
istana, gue ceramahin, gue suruh tobat. Lo mau ngerusak bangsa ini ya?"
sergah A, ustadz muda yang sering tampil di televisi.

"Tidak
bisa. Kamu tidak usah datang ke Indonesia. Indonesia negara dengan
mayoritas umat Islam. Kalau sampai kamu main di sini, bangsa ini akan
tercoreng," kata B, wakil rakyat yang juga perempuan.

"Mbak Maria Miyabi itu siapa sih? Artis baru ya?" tanya C, ibu rumah tangga yang suka nonton acara gosip artis di televisi.

"Sst... jangan keras-keras! Dia itu artis film porno, Bu'e," kata D, suami yang masa mudanya suka nonton Miyabi.

"Kamu suka nonton, ya? Awas, lho sampeyan, Pak'e," sahut E, istri yang baru saja menikah, dengan mata mendelik.

"Nama
saya Maria Ozawa. Orang sering juga memanggil saya Miyabi. Umur saya
baru 21. Saya mengetahui 48 posisi bercinta, dan saya memang main film
saru di Jepang."

"Iya, iya. Saya sudah nonton. Wajahmu sangat
oriental. Saya koleksi film kamu, lho," kata F, aktor muda ganteng yang
suka main di sinetron.

"Tapi, dia di sini bukan main film biru.
Film bikinan saya tak ada unsur pornonya. Ini film komedi," kata G,
pekerja film, dengan nada putus asa.

"Sudahlah, mbok jangan
aneh-aneh. Indonesia bisa kena citra jelek kalau mengimpor bintang
porno. Kayak kekurangan bintang dalam negeri saja sih," kata H, tetua
pakar agama dan ahli fatwa.

"Saya siap diajak main filmnya. Itu
juga kalau diminta," lontar I, wakil rakyat yang lain yang memang
kadang-kadang 'mendadak artis'.

"Kalau kita mencekal orang
karena predikatnya, bagaimana kalau kita dicekal negara lain karena
predikat negara terkorup kita hayo. Lhak susah dewe to," kata J,
budayawan yang pernah bikin merah kuping presiden.

"Ya sudah.
Selama Miyabi di sini tidak bikin yang porno-porno, silakan saja ke
Indonesia," ujar K, Pak Menteri yang banyak mengurusi masalah film.

"Tunggu
dulu. Penolakan para tetua pemberi fatwa sudah benar, tidak usah
disoal-soal lagi. Kalau mau bikin film itu semestinya meniru artis dari
Amerika Serikat itu lho, yang katanya syuting di Bali. Filmnya bagus,"
sahut L, Bu Menteri yang banyak mengurus masalah perempuan.

Moralitas
di Indonesia, agaknya tak hanya berhenti pada laku dan sikap. Ia terus
diterpa suara orang banyak yang bising, kadang menggerundel, kadang
berteriak: ini yang baik, itu yang buruk.

Kita memperdebatkan
moralitas seperti air dalam gelas yang tinggal separuh isi: apakah
gelas separuh terisi ataukah separuh kosong. Ini seperti memperdebatkan
apakah manusia pada dasarnya baik atau diisi hawa nafsu buruk.

Lalu,
Maria Ozawa hendak mendarat ke Indonesia. Dan ramai-ramai kita tak lagi
berdebat soal air dalam gelas, tapi soal gelas itu sendiri. Kalau gelas
itu tak indah atau mungkin agak sedikit rengat, apa gunanya
memperdebatkan air di dalamnya apakah separuh terisi atau separuh
kosong. Kita juga tak peduli kalau air di dalam gelas adalah air putih
yang layak diminum, dan bukannya comberan.

Akhirnya, moralitas
kita referensikan pada persona, yang ironisnya, acap tak mempesona.
Mungkin karena pikiran tak bisa ditangkap, tapi tubuh, wadah bagi
pikiran itu, yang bisa dihukum. Meski kita sering tak konsisten.

Saya
tidak bisa memahami ini: jika kita bisa menolak Miyabi karena referensi
personanya sebagai artis porno, mengapa kita dulu tak bisa menolak
George Bush, Presiden Amerika Serikat yang brengsek dan bikin kerusakan
di mana-mana.

Standar ganda: mungkinkah ini karena kita lebih
berani berteriak soal moral kepada mereka yang tak punya kuasa. Sama
persis dengan penguasa dan masyarakat Yunani yang dulu membungkam
Socrates dan risalah moralnya.

"Mereka bilang aku merusak kaum
muda Athena," kata Socrates pada suatu ketika. Ia anak tukang batu
biasa di Yunani kuno. Punggungnya bungkuk, kepalanya licin botak,
tubuhnya gemuk, dan kakinya polio.

Socrates tidak berteriak
tentang 'ini baik dan itu buruk', tapi bertanya tentang apa yang baik
itu, kepada setiap orang yang ditemuinya. Ia menyerukan tentang
perlunya manusia memahami diri sendiri. Kebajikan adalah pengetahuan.
Mungkin Socrates benar. Namun, ia mengganggu konvensi moralitas umum,
tentang apa yang patut dan tidak, dan tubuhnya yang harus dihukum.

Socrates
mati setelah minum secawan racun cemara. Namun apakah nilai-nilai moral
yang diyakinya juga mati? Miyabi mungkin kelak benar-benar tak jadi
datang ke Indonesia, tapi apakah 'dekadensi moral' yang dinisbatkan
kepadanya lantas absen dari Indonesia? Saya tidak tahu apakah wakil
rakyat yang terhormat berselingkuh atau bermain syahwat dengan orang
dekat, karena tergoda oleh film-film Miyabi.

"Nama saya
Maria Ozawa. Orang sering memanggil saya Miyabi. Tubuh saya sudah tak
suci lagi. Lingga-lingga itu telah menerabas bibir gua garba. Saya
telah diusir kedua orang tua saya. Saya sudah memecat empat pacar saya.
Namun kelak saya berharap berhenti dan menikah dengan orang yang saya
cintai, bermain film baik-baik seperti di Indonesia. Kini bolehkah saya
datang?"

Saya tidak tahu, Miyabi. Sungguh, saya tidak tahu.
Entah jika kemudian kamu mengubah diri seperti kartu lebaran yang
dikirimkan seorang kawan saya yang tengah iseng melalui Facebook. Dalam
kartu itu, engkau tampil berkerudung dan mengucapkan selamat idul
fitri, dan berpesan: 'kebaikan yang sudah kita kerjakan selama 1 bulan
selama bulan Ramadhan, marilah kita lanjutkan dengan tidak lagi
men-dowload film-film saya..."

Entah bagaimana bisa dirimu
dipermak sedemikian rupa sehingga tampil dengan ketaatan relijius. Saya
tertawa. Kebajikan dan kebijaksanaan yang disampaikan tidak dengan
wajah yang seram, kadang bisa menggerakkan hati. [wir]

Tidak ada komentar: