Kamis, 08 Oktober 2009

MENDENGARKAN ADALAH SIKAP HAT

Mario Teguh Golden Moment
MENDENGARKAN ADALAH SIKAP HATI

………..





Sahabat-sahabat saya yang hatinya baik,

Kehidupan ini adalah sebuah buku yang terbuka lebar,
dan membuka dirinya bagi mereka yang ingin menemukan jawaban bagi semua pertanyaannya.

Sebagian membaca, dan mengerti.
Sebagian membaca, dan mengerti sebagian.

Ada yang selalu bertanya, tetapi tidak membaca.
Ada yang tidak membaca, tetapi berlaku seperti telah mengerti.

Banyak orang yang hanya memandang, tetapi tidak melihat.
Dan lebih banyak lagi, orang yang terlibat,
tetapi tidak menjadi bagian penting dari apa pun.

Itu sebabnya,
selain melihat dan terlibat dalam kesibukan bisnis dan kehidupan ini;
kita juga perlu mendengarkan,
dan mencapai transformasi diri yang dimungkinkan oleh mendengarkan.

Bertentangan dengan kecenderungan umum,
untuk mendahulukan berbicara karena kekhawatiran bahwa diri ini tidak terdengar;
biasakanlah diri ini untuk menahan bicara,
dan kemudian mendengar.
Karena,
jika kita berbicara, kita hanya bisa mengatakan yang sudah kita ketahui.
Tetapi,
jika kita mendengarkan, kita mungkin akan mendengar yang belum kita ketahui.

Seorang pendengar yang baik,
bukan mendengarkan karena dia tidak memiliki sesuatu yang bisa dikatakan.
Dia mendengarkan, karena dia berencana untuk berbicara lebih baik setelah mendengar.

Itu sebabnya kita diminta mengerti bahwa berbicara adalah wilayah kepandaian, sedang mendengarkan adalah wilayah kebijakan.

Dan, jika cara-cara membaca yang baik belum ramah kepada diri ini;
maka gunakanlah cara termudah untuk belajar,
yaitu mendengarkan.

Jika bisnis dan kehidupan ini sebuah buku yang menjadi hidangan lezat bagi mata yang belajar, dia juga bisa menjadi pesta pora bagi telinga yang mendengar.

Bisnis dan kehidupan ini adalah sebuah buku audio,
yang berbisik, mendayu, gemerincing, dan menggelegak dengan nanyian suka-cita.
Sebuah perayaan yang merentang dari lembutnya nafas tidur bayi yang baru lahir semalam,
sampai ke gelora keberhasilan anak-anak kemanusiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi saudara-saudaranya.

Pejamkanlah mata sebentar,
dengarkan dan perhatikan betapa banyaknya hal baik, penting, dan indah
yang telah lama tertindih dan tersingkirkan oleh keinginan-keinginan sesaat kita.
Yaitu hal-hal yang membutakan dan menulikan,
karena ketergesaan dan kelemahan yang tidak membangun kekuatan sejati untuk berjaya dalam bisnis dan kehidupan.

Diam-lah sejenak ...
Hening-lah, dengarkan, dan perhatikan.

Secara perlahan akan datang kesadaran-kesadaran baru.

Sebagian dari kesadaran itu berbisik mengenai penundaan-penundaan kita,
yaitu hal-hal penting yang harus kita lakukan.

Sebagian meniupkan semilir udara sejuk yang menenangkan,
karena lebih banyak hal yang menjadi wajar,
karena kesulitan adalah sama wajarnya dengan kemudahan.

Sebagian lagi membesarkan relung di hati ini bagi kemampuan mensyukuri dan memuja dengan lebih khusuk.

Itu sebabnya orang yang mendengar bisa melihat yang tidak kelihatan.

Itu juga sebabnya,
orang yang mudah berhasil dalam bisnis dan kehidupan adalah mereka yang bisa melihat sesuatu dengan jelas,
sebelum sesuatu itu menjadi jelas bagi banyak orang.

Mereka yang berhasil dengan jujur,
yang keberhasilannya dilestarikan dengan nama baik itu,
adalah mereka yang membiasakan dirinya melihat dengan pikirannya,
dan mendengar dengan hatinya.

Mendengarkan adalah sikap hati.

Memang awalnya,
kesediaan untuk mendengar bisa dimulai dengan keputusan pikiran untuk mengambil keuntungan dari mendengarkan,
tetapi akhirnya hanya hati yang baik yang secara alamiah mendahulukan mendengar.

Karena,
ledakan keras dan kebisingan berkelanjutan memang bisa membuat orang tuli.
Tetapi,
kerusakan pendengaran terparah adalah yang disebabkan oleh lidah yang sibuk dalam pementingan diri sendiri.

Senin, 05 Oktober 2009

Terpaksa Menulis

DWIKI SETIYAWAN*



ENAM puluh ribu rupiah untuk kontraprestasi empat buah tulisan. Itu yang
saya dapat dari menulis reportase kegiatan sebanyak empat hingga enam alinea
panjangnya, pada rubrik “Warta Jamaah” di tabloid *Jum’at *yang terbit
seminggu sekali. Saya mengambilnya sendiri di kantor redaksi tabloid itu
antara tahun 1992-1995 di lantai dasar Masjid Istiqlal Jakarta. Alasan
mengambil sendiri, disamping jumlah honor agak lumayan, saya bisa
melaksanakan shalat Dzuhur di depan mimbar khatib dan merasakan kedamaian di
masjid termegah se-Asia Tenggara itu. Untuk tahun-tahun indah tersebut, satu
buah tulisan sebesar Rp 15 ribu berarti cukup untuk membeli tiket kereta api
ekonomi pulang ke Solo dari Jakarta.

Di tabloid Jum’at, rubrik “Warta Jamaah” berisi kegiatan-kegiatan keagamaan
yang dilakukan oleh ormas, kelompok pengajian, sekolah dan institusi
lainnya. Tulisan reportasenya singkat, yang penting memenuhi unsur berita 5
W+1H. Ditulis panjang pun boleh, hanya honornya tetap sama Rp 15 ribu.
Makanya saya hanya mengirim reportase pendek saja.

Sebelum mengambil sendiri honor, saya kontak via telepon ke redaksi agar
honor-honor tulisan ditahan dulu, yang nanti akan saya ambil saat ada acara
di Jakarta. Biasanya, sekalipun hanya satu tulisan reportase yang dimuat,
selang beberapa hari tiba kiriman wesel dengan angka nominal Rp 15 ribu.
Pada bagian kolom berita di wesel ditulis: honor tulisan … (judul
reportase)… (edisi terbit tabloid)… (ucapan terima kasih). Kala itu, uang
sebesar Rp 15 ribu sudah bisa untuk mentraktir pacar nonton di bioskop
ternama Solo Teater yang terletak di Kompleks Taman Sriwedari Solo.

Selain tabloid *Jumat*, beberapa kali artikel pendek saya dimuat di rubrik
opini mahasiswa harian *Jawa Pos*. Honornya Rp 25 ribu dan dikirim via
wesel. Honor sebesar itu, sudah cukup untuk membayar satu bulan indekost
dengan kamar yang lumayan luas dan bagus di kota Solo. Sedangkan untuk
mentraktir makan, uang sebesar itu cukup untuk lima orang makan enak “sego
liwet” di bilangan Keprabon.

Tahun-tahun 1990-an, rubrik opini mahasiswa di *Jawa Pos *memiliki segmen
tersendiri di kalangan mahasiswa Jatim, Jateng dan DIY. Modus kerjanya,
redaksi terlebih dahulu melempar sebuah tema tertentu untuk ditanggapi
mahasiswa. Mula-mula ada empat orang mahasiswa berikut opininya yang dimuat.
Selang beberapa waktu hanya dua orang mahasiswa yang dimuat opininya. Rubrik
khusus ini, tampil di halaman opini bersama artikel utama yang ditulis para
pakar dan editorial koran bersangkutan “Jati Diri”.

Di samping itu, tulisan saya juga pernah muncul di harian *Pikiran
Rakyat *Bandung,
Majalah *Media Dakwah *(diterbitkan Dewan Dakwah Indonesia), Majalah*Rindang
* (diterbitkan Kanwil Depag Jawa Tengah) dan sebagainya. Kesemua tulisan itu
diketik dengan mesin ketik manual. Kadang kalau pitanya sudah lama dipakai,
hasil tulisan paling atas jelas dan ke bawahnya semakin tak jelas. Yang
penting si redaksi masih bisa membaca maksud tulisan!

***

Tahun 1996, saya hijrah ke Jakarta. Menjadi Ketua Bidang Diklat Badan
Koordinasi Nasional Lembaga Pers Mahasiswa PB HMI (Bakornas LAPMI). Rekan
sesama staf ketua, yaitu M Alfan Alfian yang menjabat sebagai Ketua Bidang
Penerbitannya. Berkantor di Jalan Diponegoro 16-A Menteng Jakarta Pusat yang
sekaligus jadi kediaman para aktivis PB HMI. Salah seorang staf lain di
Bakornas LAPMI periode itu yang kemudian sangat terkenal yakni Moammar Emka.
Penulis buku laris “Jakarta Undercover” .

Sebagai aktivis yang masih baru di Jakarta, saya dan M Alfan Alfian kala itu
merasakan betul bagaimana rasanya “tidak punya uang sama sekali” di kantong.
Untuk mensiasati agar dapat uang dan tetap survive, terpaksalah kami memutar
otak mengatasinya. Menulis adalah salah satu jalan keluarnya. Dan motif agar
dapat uang inilah yang paling mendasar, memaksa dan dipaksa untuk menulis.

Dengan menggunakan dua buah komputer “jangkrik” yang berada di lantai dua
Jalan Diponegoro 16-A, setelah lewat tengah malam saat aktivis yang lain
tertidur pulas, beberapa aktivis bergantian menulis artikel opini untuk
dikirim ke media massa. Komputer “jangkrik” ini masih menggunakan dua buah
disket cukup besar: satu buah sistem operasi DOS dan satunya lagi untuk
menyimpan dokumen. Program yang digunakan yakni WS (WordStar) yang kala itu
sangat populer. Sekalipun dulu terampil menggunakan WS, dengan menekan
tombol ini dan itu untuk membuat perataan tulisan, menebalkan kata, memberi
garis bawah kalimat dan sebagainya, sekarang semuanya sudah lupa.

Artikel-artikel M Alfan Alfian dimuat di harian *Kompas,* *Media Indonesia *dan
*Pelita*. Sedangkan artikel saya pernah dimuat di harian *Merdeka* (BM
Diah), *Media Indonesia*, *Bisnis Indonesia*,* Pelita *dan harian sore *
Terbit*. Masih ada beberapa nama lain di PB HMI saat itu yang gemar menulis
dan tulisannya dimuat media massa, antara lain: Mokhsen Idris Sirfefa,
Badaruddin Gailia, Syamsul Qomar dan Anas Urbaningrum.

Berkali-kali mengirim artikel opini ke *Kompas*, tulisan saya acap
dikembalikan dengan diserta catatan: tidak ada tempat. Alfan Alfian lebih
beruntung, sekalipun awalnya artikel opini dia juga acap dikembalikan.
Namun karena konsisten, akhirnya sekali dimuat selanjutnya lancar-lancar
saja. Kalaupun saya dapat “honor” dari *Kompas*, bukan karena artikel yang
dimuat namun karena pernah menjadi pemenang Teka-Teki Silang (TTS) edisi
Rabu –dulu TTS *Kompas* hadir setiap Rabu dan Minggu– dan “pengganti
transport” saat aktif menghadiri diskusi rutin di Forum Indonesia Muda (FM)
di gedung Kompas Palmerah.

Sebagai konsekwensi, dan sayang kerja semalaman ditolak redaktur opini
sebuah harian maka artikel yang sama segera saya kirim via pos ke harian
lain, dalam hal ini *Merdeka*. Sejak dulu saya membiasakan untuk tidak
menulis artikel yang sama ke lebih dari satu penerbitan. Jadi menunggu
konfirmasi “penolakan” dulu, baru berani mengirim artikel bersangkutan ke
media lain. Karena lazimnya di suatu media alasan penolakan lantaran “tidak
ada tempat”, maka biasanya di media lain akan dimuat.

Berkaitan dengan lamanya menunggu konfirmasi dari tulisan yang kita kirim ke
sebuah media cetak, perlu saya ingatkan kepada penulis-penulis muda:
reputasi kepenulisan seseorang akan ditentukan dan dihargai oleh integritas
si penulis sendiri. Jangan sekali-sekali mengirim sebuah artikel yang sama
ke beberapa media. Termasuk memodifikasi judul atau pengurangan dan
penambahan isi artikel. Juga memplagiat tulisan orang.

Sekali terdeteksi sebuah artikel itu dimuat lebih dari satu media (sekalipun
dengan jangka waktu berbeda) atau judul dan isi artikel sudah dimodifikasi
atau artikel itu hasil plagiat yang telah dimodifikasi, maka lonceng
kematian sebagai pengarang akan segera berdentang. Dan nama si penulis akan
masuk “daftar hitam” sebagai penulis nakal untuk selamanya.

Di harian *Merdeka*, artikel-artikel saya yang dimuat tentang politik dan
budaya. Sebuah artikel, akan mendapat honor Rp 100 ribu untuk penulis pemula
seperti saya. Ngambil honorya di daerah Cikupa Tangerang. Cukup jauh, dan
harus berganti-ganti kendaraan umum untuk mencapai kantor redaksi itu. Dan
harus menunggu sebulan semenjak artikel dimuat.

Selain harian *Merdeka*, harian sore *Terbit *juga memberi honor sebesar itu
untuk setiap artikel yang dimuat. Saya juga mengambil sendiri honornya di
kantor redaksi *Terbit* di daerah Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur.
Sedangkan honor sebuah artikel di *Media Indonesia *dan *Bisnis
Indonesia*pada tahun 1996-1997-an telah mencapai Rp 200 hingga Rp 250
ribu.

Dari pengalaman menulis yang saya kemukakan di atas, menulis di media cetak
dengan mengharap imbalan honor atau atas nama eksistensi diri musti
“dipaksakan”. Kisah saya dengan M Alfan Alfian menjelang reformasi yang
terjepit karena tidak punya uang untuk *survive* di Jakarta telah
membuktikan, kalau dipaksakan –sekalipun awalnya ditolak-tolak redaktur
media cetak– pada saatnya tulisan kita akan dimuat oleh media cetak. Dari
pengembalian tulisan disertai alasan dari si redaktur, lama-lama kita akan
tahu karakter media itu dan sejauhmana mutu tulisan yang kita buat. Selamat
mencoba.
*****

MIYABI

http://beritajatim.com/sorotan.php?newsid=530

30 September 2009 13:57:43 WIB
Miyabi
Reporter : Oryza A. Wirawan

Saya tidak tahu kapan Maria Ozawa akan ke Indonesia. Tapi hari ini saya
membayangkan dia seperti Pariyem dalam novel Linus Suryadi Ag. Pariyem
adalah babu berbodi montok dengan susu yang padat, yang dihamili anak
juragannya, Raden Bagus Ario Atmojo. Dia cinta sang anak juragan, tapi
orang ramai mempertanyakan atau menakar moralitasnya, karena bersetubuh
dan hamil di luar nikah.

"Nama saya Maria Ozawa. Orang juga
sering memanggil saya Miyabi. Saya mau datang ke Indonesia, karena
diajak main film yang judulnya menggunakan nama saya."

"Coba
saja lo berani ke Indonesia. Kalau gue presiden, udah gue undang lo ke
istana, gue ceramahin, gue suruh tobat. Lo mau ngerusak bangsa ini ya?"
sergah A, ustadz muda yang sering tampil di televisi.

"Tidak
bisa. Kamu tidak usah datang ke Indonesia. Indonesia negara dengan
mayoritas umat Islam. Kalau sampai kamu main di sini, bangsa ini akan
tercoreng," kata B, wakil rakyat yang juga perempuan.

"Mbak Maria Miyabi itu siapa sih? Artis baru ya?" tanya C, ibu rumah tangga yang suka nonton acara gosip artis di televisi.

"Sst... jangan keras-keras! Dia itu artis film porno, Bu'e," kata D, suami yang masa mudanya suka nonton Miyabi.

"Kamu suka nonton, ya? Awas, lho sampeyan, Pak'e," sahut E, istri yang baru saja menikah, dengan mata mendelik.

"Nama
saya Maria Ozawa. Orang sering juga memanggil saya Miyabi. Umur saya
baru 21. Saya mengetahui 48 posisi bercinta, dan saya memang main film
saru di Jepang."

"Iya, iya. Saya sudah nonton. Wajahmu sangat
oriental. Saya koleksi film kamu, lho," kata F, aktor muda ganteng yang
suka main di sinetron.

"Tapi, dia di sini bukan main film biru.
Film bikinan saya tak ada unsur pornonya. Ini film komedi," kata G,
pekerja film, dengan nada putus asa.

"Sudahlah, mbok jangan
aneh-aneh. Indonesia bisa kena citra jelek kalau mengimpor bintang
porno. Kayak kekurangan bintang dalam negeri saja sih," kata H, tetua
pakar agama dan ahli fatwa.

"Saya siap diajak main filmnya. Itu
juga kalau diminta," lontar I, wakil rakyat yang lain yang memang
kadang-kadang 'mendadak artis'.

"Kalau kita mencekal orang
karena predikatnya, bagaimana kalau kita dicekal negara lain karena
predikat negara terkorup kita hayo. Lhak susah dewe to," kata J,
budayawan yang pernah bikin merah kuping presiden.

"Ya sudah.
Selama Miyabi di sini tidak bikin yang porno-porno, silakan saja ke
Indonesia," ujar K, Pak Menteri yang banyak mengurusi masalah film.

"Tunggu
dulu. Penolakan para tetua pemberi fatwa sudah benar, tidak usah
disoal-soal lagi. Kalau mau bikin film itu semestinya meniru artis dari
Amerika Serikat itu lho, yang katanya syuting di Bali. Filmnya bagus,"
sahut L, Bu Menteri yang banyak mengurus masalah perempuan.

Moralitas
di Indonesia, agaknya tak hanya berhenti pada laku dan sikap. Ia terus
diterpa suara orang banyak yang bising, kadang menggerundel, kadang
berteriak: ini yang baik, itu yang buruk.

Kita memperdebatkan
moralitas seperti air dalam gelas yang tinggal separuh isi: apakah
gelas separuh terisi ataukah separuh kosong. Ini seperti memperdebatkan
apakah manusia pada dasarnya baik atau diisi hawa nafsu buruk.

Lalu,
Maria Ozawa hendak mendarat ke Indonesia. Dan ramai-ramai kita tak lagi
berdebat soal air dalam gelas, tapi soal gelas itu sendiri. Kalau gelas
itu tak indah atau mungkin agak sedikit rengat, apa gunanya
memperdebatkan air di dalamnya apakah separuh terisi atau separuh
kosong. Kita juga tak peduli kalau air di dalam gelas adalah air putih
yang layak diminum, dan bukannya comberan.

Akhirnya, moralitas
kita referensikan pada persona, yang ironisnya, acap tak mempesona.
Mungkin karena pikiran tak bisa ditangkap, tapi tubuh, wadah bagi
pikiran itu, yang bisa dihukum. Meski kita sering tak konsisten.

Saya
tidak bisa memahami ini: jika kita bisa menolak Miyabi karena referensi
personanya sebagai artis porno, mengapa kita dulu tak bisa menolak
George Bush, Presiden Amerika Serikat yang brengsek dan bikin kerusakan
di mana-mana.

Standar ganda: mungkinkah ini karena kita lebih
berani berteriak soal moral kepada mereka yang tak punya kuasa. Sama
persis dengan penguasa dan masyarakat Yunani yang dulu membungkam
Socrates dan risalah moralnya.

"Mereka bilang aku merusak kaum
muda Athena," kata Socrates pada suatu ketika. Ia anak tukang batu
biasa di Yunani kuno. Punggungnya bungkuk, kepalanya licin botak,
tubuhnya gemuk, dan kakinya polio.

Socrates tidak berteriak
tentang 'ini baik dan itu buruk', tapi bertanya tentang apa yang baik
itu, kepada setiap orang yang ditemuinya. Ia menyerukan tentang
perlunya manusia memahami diri sendiri. Kebajikan adalah pengetahuan.
Mungkin Socrates benar. Namun, ia mengganggu konvensi moralitas umum,
tentang apa yang patut dan tidak, dan tubuhnya yang harus dihukum.

Socrates
mati setelah minum secawan racun cemara. Namun apakah nilai-nilai moral
yang diyakinya juga mati? Miyabi mungkin kelak benar-benar tak jadi
datang ke Indonesia, tapi apakah 'dekadensi moral' yang dinisbatkan
kepadanya lantas absen dari Indonesia? Saya tidak tahu apakah wakil
rakyat yang terhormat berselingkuh atau bermain syahwat dengan orang
dekat, karena tergoda oleh film-film Miyabi.

"Nama saya
Maria Ozawa. Orang sering memanggil saya Miyabi. Tubuh saya sudah tak
suci lagi. Lingga-lingga itu telah menerabas bibir gua garba. Saya
telah diusir kedua orang tua saya. Saya sudah memecat empat pacar saya.
Namun kelak saya berharap berhenti dan menikah dengan orang yang saya
cintai, bermain film baik-baik seperti di Indonesia. Kini bolehkah saya
datang?"

Saya tidak tahu, Miyabi. Sungguh, saya tidak tahu.
Entah jika kemudian kamu mengubah diri seperti kartu lebaran yang
dikirimkan seorang kawan saya yang tengah iseng melalui Facebook. Dalam
kartu itu, engkau tampil berkerudung dan mengucapkan selamat idul
fitri, dan berpesan: 'kebaikan yang sudah kita kerjakan selama 1 bulan
selama bulan Ramadhan, marilah kita lanjutkan dengan tidak lagi
men-dowload film-film saya..."

Entah bagaimana bisa dirimu
dipermak sedemikian rupa sehingga tampil dengan ketaatan relijius. Saya
tertawa. Kebajikan dan kebijaksanaan yang disampaikan tidak dengan
wajah yang seram, kadang bisa menggerakkan hati. [wir]